Selasa, 20 Mei 2014

Tulisan Arab 99 Asmaul Husna Dan Artinya

1 Ar Rahman = الرحمن = Yang Maha Pengasih
2 Ar Rahiim الرحيم = Yang Maha Penya= Yang
3 Al Malik الملك = Yang Maha Merajai/Memerintah
4 Al Quddus القدوس = Yang Maha Suci
5 As Salaam السلام = Yang Maha Memberi Kesejahteraan
6 Al Mu`min المؤمن = Yang Maha Memberi Keamanan
7 Al Muhaimin المهيمن = Yang Maha Pemelihara
8 Al `Aziiz العزيز = Yang Memiliki Mutlak Kegagahan
9 Al Jabbar الجبار = Yang Maha Perkasa
10 Al Mutakabbir المتكبر = Yang Maha Megah, = Yang Memiliki Kebesaran
11 Al Khaliq الخالق = = Yang Maha Pencipta
12 Al Baari` البارئ = Yang Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan)
13 Al Mushawwir المصور = Yang Maha Membentuk Rupa (makhluknya)
14 Al Ghaffaar الغفار = Yang Maha Pengampun
15 Al Qahhaar القهار = Yang Maha Memaksa
16 Al Wahhaab الوهاب = Yang Maha Pemberi Karunia
17 Ar Razzaaq الرزاق = Yang Maha Pemberi Rejeki
18 Al Fattaah الفتاح = Yang Maha Pembuka Rahmat
19 Al `Aliim العليم = Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
20 Al Qaabidh القابض = Yang Maha Menyempitkan (makhluknya)
21 Al Baasith الباسط = Yang Maha Melapangkan (makhluknya)
22 Al Khaafidh الخافض = Yang Maha Merendahkan (makhluknya)
23 Ar Raafi` الرافع = Yang Maha Meninggikan (makhluknya)
24 Al Mu`izz المعز = Yang Maha Memuliakan (makhluknya)
25 Al Mudzil المذل = Yang Maha Menghinakan (makhluknya)
26 Al Samii` السميع = Yang Maha Mendengar
27 Al Bashiir البصير = Yang Maha Melihat
28 Al Hakam الحكم = Yang Maha Menetapkan
29 Al `Adl العدل = Yang Maha Adil
30 Al Lathiif اللطيف = Yang Maha Lembut
31 Al Khabiir الخبير = Yang Maha Mengenal
32 Al Haliim الحليم = Yang Maha Penyantun
33 Al `Azhiim العظيم = Yang Maha Agung
34 Al Ghafuur الغفور = Yang Maha Pengampun
35 As Syakuur الشكور = Yang Maha Pembalas Budi (Menghargai)
36 Al `Aliy العلى = Yang Maha Tinggi
37 Al Kabiir الكبير = Yang Maha Besar
38 Al Hafizh الحفيظ = Yang Maha Memelihara
39 Al Muqiit المقيت = Yang Maha Pemberi Kecukupan
40 Al Hasiib الحسيب = Yang Maha Membuat Perhitungan
41 Al Jaliil الجليل = Yang Maha Mulia
42 Al Kariim الكريم = Yang Maha Mulia
43 Ar Raqiib الرقيب = Yang Maha Mengawasi
44 Al Mujiib المجيب = Yang Maha Mengabulkan
45 Al Waasi` الواسع = Yang Maha Luas
46 Al Hakiim الحكيم = Yang Maha Maka Bijaksana
47 Al Waduud الودود = Yang Maha Mengasihi
48 Al Majiid المجيد = Yang Maha Mulia
49 Al Baa`its الباعث = Yang Maha Membangkitkan
50 As Syahiid الشهيد = Yang Maha Menyaksikan
51 Al Haqq الحق = Yang Maha Benar
52 Al Wakiil الوكيل = Yang Maha Memelihara
53 Al Qawiyyu القوى = Yang Maha Kuat
54 Al Matiin المتين = Yang Maha Kokoh
55 Al Waliyy الولى = Yang Maha Melindungi
56 Al Hamiid الحميد = Yang Maha Terpuji
57 Al Muhshii المحصى = Yang Maha Mengkalkulasi
58 Al Mubdi` المبدئ = Yang Maha Memulai
59 Al Mu`iid المعيد = Yang Maha Mengembalikan Kehidupan
60 Al Muhyii المحيى = Yang Maha Menghidupkan
61 Al Mumiitu المميت = Yang Maha Mematikan
62 Al Hayyu الحي = Yang Maha Hidup
63 Al Qayyuum القيوم = Yang Maha Mandiri
64 Al Waajid الواجد = Yang Maha Penemu
65 Al Maajid الماجد = Yang Maha Mulia
66 Al Wahiid الواحد = Yang Maha Tunggal
67 Al Ahad الاحد = Yang Maha Esa
68 As Shamad الصمد = Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
69 Al Qaadir القادر = Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
70 Al Muqtadir المقتدر = Yang Maha Berkuasa
71 Al Muqaddim المقدم = Yang Maha Mendahulukan
72 Al Mu`akkhir المؤخر = Yang Maha Mengakhirkan
73 Al Awwal الأول = Yang Maha Awal
74 Al Aakhir الأخر = Yang Maha Akhir
75 Az Zhaahir الظاهر = Yang Maha Nyata
76 Al Baathin الباطن = Yang Maha Ghaib
77 Al Waali الوالي = Yang Maha Memerintah
78 Al Muta`aalii المتعالي = Yang Maha Tinggi
79 Al Barri البر = Yang Maha Penderma
80 At Tawwaab التواب = Yang Maha Penerima Tobat
81 Al Muntaqim المنتقم = Yang Maha Pemberi Balasan
82 Al Afuww العفو = Yang Maha Pemaaf
83 Ar Ra`uuf الرؤوف = Yang Maha Pengasuh
84 Malikul Mulk مالك الملك = Yang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
85 Dzul Jalaali Wal Ikraam ذو الجلال و الإكرام = Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
86 Al Muqsith المقسط = Yang Maha Pemberi Keadilan
87 Al Jamii` الجامع = Yang Maha Mengumpulkan
88 Al Ghaniyy الغنى = Yang Maha Kaya
89 Al Mughnii المغنى = Yang Maha Pemberi Kekayaan
90 Al Maani المانع = Yang Maha Mencegah
91 Ad Dhaar الضار = Yang Maha Penimpa Kemudharatan
92 An Nafii` النافع = Yang Maha Memberi Manfaat
93 An Nuur النور = Yang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)
94 Al Haadii الهادئ = Yang Maha Pemberi Petunjuk
95 Al Baadii البديع = Yang Indah Tidak Mempunyai Banding
96 Al Baaqii الباقي = Yang Maha Kekal
97 Al Waarits الوارث = Yang Maha Pewaris
98 Ar Rasyiid الرشيد = Yang Maha Pandai
99 As Shabuur الصبور = Yang Maha Sabar

Demikian semoga bermanfaat.

Rabu, 14 Mei 2014

RAHASIA AGUNG DIBALIK POLIGAMI NABI MUHAMMAD SAW

Berdasarkan catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW selama hidupnya memang memiliki istri 12 orang. Berdasarkan itu, maka sebagian kaum orientalis yang anti Islam “menuding” Nabi Muhammad SAW itu hiperseks dan budak nafsu syahwat. Padahal, kalau mau jujur, di balik poligami tersebut ada rahasia yang agung. Sayang, mereka kaum orientalis yang anti islam enggan menyingkap rahasia agung itu. Oleh karena itu, tulisan ini menjawab tuduhan keji para kaum orientaslis kepada Rasulullah SAW. Mudah-mudahan tulisan ini menambah pengetahuan dan wawasan kita tentang Indahnya Akhlak Rasulullah sehingga meningkatkan kecintaan kita kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebenarnya, Nabi Muhammad SAW itu “penganut monogami”. Buktinya, ketika poligami (beristri lebih dari satu) begitu mentradisi dan menjadi kebanggaan di kalangan masyarakat arab pada waktu itu, Nabi Muhammad SAW hanya punya istri satu saja. Dialah “Siti Khadijah”, wanita yang telah memberikan enam anak (dua laki dan empat wanita) selama 25 tahun membina rumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW.
Selama hidup bersama Siti Khadijah, Nabi Muhammad SAW tak pernah sekalipun main perempuan. Malah sebenarnya, setelah istri tercintanya itu wafat tiga tahun menjelang “hijrah” (perpindahan) umat muslim dari Mekah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW sempat menduda selama empat tahun.
Menuding bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai budak seks dan syahwat, merupakan fitnah yang sangat keji dari kaum orientalis anti Islam lantaran cemburu atas kesuksesan Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat dalam berbagai sektor. Maka, untuk melampiaskan kecemburuan itu, sebagian orientalis dan tokoh agama tertentu, sengaja menodai kesucian Nabi Muhammad SAW dengan melontarkan tuduhan-tuduhan keji tersebut.
Untuk diketahui, kondisi masyarakat Arab Jahiliyah waktu itu – sebelum kedatangan Islam – sangat memberikan peluang untuk mengumbar nafsu. Ketika itu, hubungan seks di luar nikah sudah memasyarakat dan menjadi sebuah tradisi yang wajar. Bahkan, seorang pria yang menikahi puluhan wanita pun, justru jadi simbol ketinggian status sosial. Sungguh, wanita Arab masa itu tak punya nilai sama sekali. Seakan kaum hawa diciptakan hanya untuk pemuas syahwat kaum pria semata.
Nabi Muhammad SAW yang ketika itu masih muda belia – sekitar 20 tahun – merasa khawatir dan prihatin melihat perilaku kaum pria di tengah masyarakatnya. Beliau mencoba menjauhkan diri dari perilaku yang tidak manusiawi itu. Akhirnya, Beliau mengasingkan diri ke Gua Hira di Jabal Nur (Gunung Nur). Beliau merenungi kebejatan moral masyarakatnya. Kemudian Beliau mencoba mencari kebenaran dan petunjuk dalam kesepian itu.
Padahal, kalau Nabi Muhammad SAW itu seorang budak nafsu, tentu Beliau akan menghabiskan masa mudanya dengan menggauli puluhan bahkan ratusan wanita cantik. Toh ketika usianya 20 tahun saja, nama Beliau sudah sangat populer di tengah masyarakat Arab sehingga diberi gelar Al-Amin (Terpercaya). Kebaikan akhlaknya sudah jadi buah bibir ditengah masyarakat dan kegantengan rupanya pun tak kalah dengan pemuda-pemuda sebayanya. Lagi pula, Nabi Muhammad SAW adalah seorang keturunan “Darah Biru” yang kakek-buyutnya adalah orang terpandang dan disegani dikalangan masyakarat Arab waktu itu, kakek-buyutnya adalah pemimpin Bani Hasyim dan salah satu tokoh terpandang yang disegani dan dihormati suku Quraisy. Selain itu, kakek adalah orang yang dipercaya menjaga Ka’bah.
Tapi, ditengah gejolak darah mudanya itu, Nabi Muhammad SAW justru jadi penggugat tradisi poligami pelampias nafsu dan tradisi pelacuran atau seks diluar nikah. Ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang bersih dari perbudakan hawa nafsu. Tak pernah ada catatan secuil pun yang mengatakan, Nabi Muhammad SAW pernah melampiaskan nafsu biologisnya di luar nikah.
Nabi Muhammad SAW baru menyentuh kulit lembut wanita ketika Beliau menikahi Siti Khadijah. Pernikahan ini pun bukan atas dorongan nafsu seksual..!!! Bukti sejarah menunjukan, bahwa Nabi Muhammad SAW menikah pada usia 25 tahun, sementara Siti Khadijah yang berstatus janda ketika itu berusia 40 tahun. Kalau saja, Nabi Muhammad SAW adalah budak nafsu, jelas ditengah usianya yang masih muda itu, justru akan menikahi seorang bahkan beberapa gadis cantik yang masih perawan dan energik. Tapi ternyata tidak..!!!
RASULULLAH SAW SEBENARNYA PENGANUT MONOGAMI..!!!
Patut dicatat sejak menikah pada usia 25 tahun sampai ditinggal wafat istrinya pada usia 50 tahun, Nabi Muhammad SAW cuma punya satu istri saja. Itulah Siti Khadijah. Padahal kalau Beliau seorang budak nafsu, jelas ditengah kerentaan istrinya Siti Khadijah yang telah berumur 65 tahun itu, Beliau akan menikahi wanita lain agar nafsu biologisnya bisa tersalurkan sepuas-puasnya. Tapi ternyata tidak…!!!!
Bahkan, empat tahun sepeninggal Siti Khadijah pun, Nabi Muhammad SAW masih bertahan sebagai duda. Beliau lebih memusatkan perhatiannya pada pengembangan dakwah Islam. Tak terlintas sedikitpun untuk cepat-cepat punya istri baru lagi..!!!
Baru ketika usia Beliau 55 tahun, keinginan atau hasrat untuk menikah lagi muncul. Hasrat ini dilatarbelakangi karena keadaan umat Islam yang amat sangat menyedihkan dan memprihatinkan terutama bagi kaum wanita dan anak-anak kecil. Masa itu, kaum kafir Quraisy dan Yahudi tengah meningkatkan permusuhan dan kebenciannya terhadap umat Islam, sehingga penindasan-penindasan biadab yang dilancarkan musuh-musuh Islam tak bisa lagi dibiarkan, kecuali dilawan dengan kekuatan fisik. Singkat cerita, setelah turunnya wahyu dari Allah SWT, akhirnya terbukalah perang.
Di tengah peperangan ini, tak sedikit tentara Islam yang gugur sebagai syahid di medan pertempuran. Dampaknya jelas, banyak istri sahabat Nabi yang menjanda dengan memikul beban berat karena harus menghidupi anak-anak mereka yang tiada berayah lagi.
Dalam keadaan perang, tak mungkin sempat membangun panti asuhan anak-anak yatim. Apalagi masa itu, lingkungan persaudaraan umat Islam masih kecil sekali. Dan kondisi ekonomi umat Islam saat itu juga benar-benar sangat memprihatinkan. Sementara tentara musuh terus memburu tawanan wanita Islam untuk melampiaskan hawa nafsu mereka.
Kenyataan pahit itu, mendorong Nabi Muhammad SAW untuk membuka pintu poligami. Para sahabat Nabi yang dinilai “mampu” dimintanya untuk menikahi janda-janda korban perang sampai empat. Syaratnya, para sahabat itu harus mampu berbuat adil, baik terhadap istri-istrinya, maupun anak-anak yatim yang dalam perawatannya. Kalau tidak bisa berbuat adil, cukup beristri satu saja. Syarat yang dikemukakan Nabi ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat : (3).
Nabi sebagai penganjur poligami dalam keadaan darurat waktu itu, juga menikahi para janda sahabatnya, sehingga para janda itu selamat dari perlakuan semena-mena tentara musuh Islam. Anak-anak para janda yang berstatus yatim itu pun, terpelihara dan terjaga dengan baik.
Dari catatan sejarah, setelah Siti Khadijah Wafat, Nabi Muhammad SAW menikahi 11 wanita, tiga diantaranya adalah wanita budak atau tawanan perang (Siti Juwariyah, Siti Shafiyah, dan Maria Al-Qibtiyah), delapan lainnya adalah wanita merdeka yaitu (Siti Saudah, Siti Aisyah, Siti Hafsah, Siti Zainab Ummul Masakin, Ummi Salamah, Siti Zainab Putri Umaimah, Ummi Habibah dan Siti Maimunah). Dari delapan wanita merdeka itu, hanya seorang wanita yang berstatus gadis. Itulah Siti Aisyah, sedangkan yang lainnya berstatus janda.
MEMULIAKAN DERAJAT WANITA
Masyarakat Arab waktu itu memandang wanita-wanita tawanan perang atau wanita-wanita yang dihadiahkan majikannya kepada pihak lain, adalah budak. Wanita hanya dianggap sebagai alat pemuas nafsu birahi. Ditengah masyarakat pun, wanita tak punya kedudukan apa-apa.
Pandangan dan perlakuan negatif seperti ini kemudian dihapus oleh Nabi Muhammad SAW. Dua wanita tawanan perang Islam, (Siti Juwairiyah, dan Siti Shafiyah) Beliau merdekakan, kemudian Beliau nikahi. Maria Al-Qibtiyah yang dihadiahkan Muqauqis Raja Romawi di Mesir kepada Nabi Muhammad SAW juga dimerdekakan dan dinikahi. Dengan begitu, ketiga wanita ini menempati derajat tertinggi di tengah masyarakat Islam karena telah menjadi istri Nabi.
Menyimak pernikahan Nabi dengan tiga wanita tersebut, jelas bukan lantaran dorongan nafsu syahwat, melainkan untuk menghargai dan mengangkat derajat kaum hawa, sehingga terbebas dari perbudakan nafsu pria. Nilai tambah dari pernikahan Nabi Muhammad dengan para janda ini ditandai dengan makin berkembangnya ajaran Islam dan makin terkuburnya permusuhan antar suku.
Dengan menikahi Siti Juwairiyah, putri pemimpin Kabilah Yahudi Bani Mustaliq, Nabi Muhammad SAW berhasil mengislamkan ratusan orang dari Bani Mustaliq itu. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Shafiyah, putri kepala kabilah yahudi Bani Nadlir, juga menuntaskan permusuhan antara kaum muslimin dengan Yahudi Madinah. Dan, pernikahan Nabi dengan Siti Saudah pun, berhasil mendamaikan permusuhan antara Bani Abdi Syam dengan Bani Hasyim.
Hebatnya lagi, pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Maimunah, menarik dua tokoh Quraisy ternama untuk memeluk Islam secara sukarela yaitu Ibnu Abas dan Khalid bin Walid. Sementara, pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah dan Siti Hafsah membawa pengaruh besar terhadap keutuhan ajaran Islam. Siti Aisyah yang berotak cerdas, berwawasan luas serta memiliki daya ingat yang luar biasa, tercatat sebagai narasumber lahirnya Hadist-hadist setelah Nabi wafat. Dan Siti Hafsah yang rajin mengumpulkan teks Al-Qur’an yang ditulis para sahabat ternama di pelepah kertas, daun kurma, batu dll. Teks-teks Al-Qur’an tersebut kemudian dihimpun menjadi satu. Akhirnya, lahirlah Kitab Suci Al-Qur’an seperti yang kita kenal sekarang..
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Yang benar datangnya dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Tunggal, Yang Tiada Beranak dan Tiada Diperanakan. Sedangkan yang salah datangnya dari saya pribadi. Salawat dan Salam semoga selalu Allah SWT curahkan kepada Junjungan Kita, Suritauladan kita, penutup para Nabi, Nabi Besar Muhammad SAW. Mudah-mudahan kita semua kelak dipertemukan Baginda Nabi di surga-Nya..Aamiin Allahumma Amiin.

MENGAPA NABI MUHAMMAD SAW POLIGAMI?

Salah satu tuduhan keji yang sering dilontarkan oleh kaum nasrani adalah terkait pernikahan Nabi Muhammad dan Poligami beliau SAW. mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad melakukan poligami untuk kesenangan sema-mata bahkan lebih keji lagi mereka menuduh bahwa semua itu dilakukan untuk memuaskan nafsu, Sungguh ini tuduhan yang sangat sangat keji sekali, mereka mengomentari sesuatu yang belum ia ketahui permasalahannya.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pernikahan dan Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
  • Khadijah Binti Khuwalid r.a
Khadijah Binti Khuwalid r.a adalah seorang Janda dari bani Asad, yang berprofesi sebagai pedagang yang kaya dan dihormati, ia biasa mengupah orang Quraisy untuk memperdagangkan hartanya. Mendengar tentang sifat­ sifat Nabi Muhammad SAW, Khadijah pun menawari beliau, dan sejak saat itu Nabi memperdagangkan harta Khadijah ke Siria (Syam), disertai oleh Maisara, budak Khadijah. Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata beliau mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Pada saat  beliau berumur dua puluh lima tahun, setelah perjalanan dagang ini Khadijah menawari Nabi Muhammad untuk menikah dengannya – Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. la yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya-. Dan beliau menerima tawaran tersebut
Hingga mencapai usia 50 tahun, Siti khadijah merupakan istri beliau satu satunya  , artinya Selama 25 tahun Rasulullah SAW menghayati sebagian besar masa mudanya dengan hidup bersama seorang istri saja yakni Khadijah Binti Khuwalid.

Rasulullah Berpoligami

Masa lima tahun Rasulullah SAW hidup berpoligami adalah masa perjuangan mempertaruhkan hidup mati demi kebenaran islam dan kesentosaan kaum muslimin. Madinah tempat beliau hijrah bertubi tubi dirong rong dan diincar serta berulangkali nyaris diserbu oleh kaum Musrikin yang hendak menghancurkan islam dan kaum muslimin. Belum lagi menghadapi kaum Yahudi dan kaum munafik. Tidak sedikit jumlah sahabat yang gugur, satu demi satu dibunuh musuh secara gelap. Apakah dalam keadaan itu beliau sempat menikmati keadaan santai dan bersenang senang dengan istri istrinya?
Belum lagi kita bicara tentang ibadah beliau yang siang malam selalu menghadapkan diri kepada Allah SWT. Bahkan menurut hadis, Rasulullah menghabiskan separoh malam, bahkan lebih untuk menunaikan shalat dan membaca Alquran hingga kaki beliau bengkak.
Apakah seorang Nabi yang tiap malam menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan cara demikian berpoligami dengan maksud bersenang senang?
  • Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a
Setelah Khadijah wafat taklama kemudian menusul  Abu Thalib, paman beliau wafat. Padahal dialah seorang yang melindungi Nabi Muhammad SAW dari gangguan kaum musrikin. Keadaan ini pasti membuat sedih hati Rasulullah SAW, melihat hal itu sahabat Abu Bakar r.a meminta agar Beliau mau menikah dengan anaknya yang bernama Siti Aisyah . Karna kecintaan beliau pada sahabatnya sahabatnya yang paling setia ini, akhirnya Rasulullah menyetujui permintaannya, yaikni menikahi anaknya Siti Aisyah.
Yang perlu digaris bawahi disini adalah pernikahan tersebut bukan atas kehendak Nabi Muhammad, akantetapi atas permintaan ayah Siti Aisyah sendiri yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a , dari sini saja kita dapat mematahkan pendapat yang beredar bahwa nabi Muhammad adalah seorang pedofilia, karna tidak mungkin seorang ayah meminta orang lain untuk menikahi anaknya yang belum siap untuk menikah. Artinya saat itu Aisyah memang sudah siap untuk menikah dan menjalin rumah tangga hal ini terbukti sebelum Rosulullah meminang Siti Aisyah, Abu Bakar mengalami dilema antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir atau mengingkari janjinya kepada Muth’im bin Ady orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk menikahi putrinya. Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri Muth’im bin `Ady tidak menghendaki anaknya menikahi Aisyah karena tidak menginginkan anaknya masuk agama baru yang dibawa Nabi
  • Siti Saudah binti Zam’ah r.a
Beliau adalah seorang Janda yang  berbadan gemuk (-tanpa bermaksud mengecilkan penampilan fisik istri seorang Nabi ini)  dan sudah tua bahkan mendekati menopause, suaminya adalah Sakran bin Amr yang gugur dalam medan perang, sehingga Siti saudah kehilangan seorang pelindung yang menjamin kehidupannya sehari hari, hal ini mendorong Nabi Muhammad SAW untuk menikahinya karna rasa kemanusiaan dan pernghargaan terhadap suaminya yang gugur membela Agama islam
Karena usianya sudah tua, Siti Saudah menyerahkan gilirannya kepada siti Aisyah r.a.
Lantas apakah pernikahan Rasululah dengan Siti Saudah Binti Zama’ah r.a yang sudah tua  ini menunjukkan  bahwa Rosulullah berpoligami untuk mencari kesenangan semata seperti yang dituduhkan oleh orang nasrani???
  • Siti Hafshah bnti Ibnul Khattab r.a
Ia adalah puti sahabat Nabi Umar Ibnu Khattab r.a, yang menadi janda setelah suaminya Al Hudzafah As Syahmy wafat akibat luka parah yang dideritanya saat perang badar. Pada mulanya Umar Ibnul Khattab r.a meminta kepada Abu Bakar Ash Siddiq r.a untuk bersedia menikahi putrinya yang sudah menjanda itu, akan tetapi dengan iba hati Abu Bakar tidak dapat memenuhi keinginan Umar. Kemudian Umar meminta kepada Usman Bin Affan r.a untuk menikahi putrinya, tetapi Utsman r.a juga tidak dapat memenuhi keinginan Umar.
Dikalangan masyarakat Arab, terutama masa itu, mempunyai seorang anak perempuan terlambat nikah atau menjadi janda dalam waktu lama dipandang sebagai hal yang memalukan dan menghawatirkan, betapa resah perasaan Umar menghadpi kenyataan pahit itu.
Kemudian Umar mengadu kepada Rasulullah, dan beliau menjawab: “Hafshah akan menikah dengan yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah”.  Umar tidak pernah menyangka bahwa Rasulullah akan menikahi putrinya, hingga ia bersorak kegirangan mengumumkan kepada para sahabatnya, yang kemudian disambut oleh Abu Bakar juga Utsman. Dan seperti dikatakan oleh Nabi, maka Utsman akhirnya menikah dengan putri beliau; Umi Kultsum
Salah satu hikmah dari pernikahan ini adalah semakin dekatnya Hubungan Rasulullah dengan sahabatnya Umar Ibnu Khattab, karna dari 4 sahabat nabi yang terkemuka, hanya Umar yang belum mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak heran jika kesediaan Nabi menikahi Putri tersayang sudah menjadi  disambut gembira oleh Umar Ibnu Khattab
  • Zainab Binti Khuazimah r.a
Ia adalah seorang janda dua kali, pertama  beliau menikah dengan Thufail bin Harits, setelah diceraikan suaminya ia menikah dengan ‘Ubaidah bin Al Harits yang meninggal saat perang badar. Kemudian Rosulullah menikahinya. Dalam kaum muslimin Zainab Binti Khuazimah dikenal dengan sebutan (ummul Masaakiin) karna kedekatannya dengan orang orang miskin
Jika Rasulullah berpoligami hanya untuk mencari kesenangan, lantas mengapa Rasulullah memilih seorang yang janda? Bahkan janda dua kali?
  • Ummu Salamah r.a
Nama aslinya Hindun binti Umayyah bin al-Mughirah, sebelum menjadi istri Rasulullah SAW ia adalah istri Salamah bin Abdul ‘Asad Al Makhzumiy yang meninggal dalam perang badar. Saat Rasulullah meminangnya, ia berkata “ aku ini adalah seorang wanita yang sudah tua, mempunyai banyak anak dan mudah cemburu”. Mendengar jawaban ini Rasulullah menjawab: `Jika engkau berumur, maka aku lebih tua darimu, soal tidak percaya diri biarlah Allah yang menghilangkannya dari dirimu, adapun masalah tanggungan keluarga (anak-anak) serahkan kepada Allah dan Rasulnya
Apakah pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah seorang janda  yang sudah tua dan mempunyai anak  yang banyak karena mencari kesenangan semata??? Sebagai mana tuduhan orang Kristen selama ini??  Jika memang tuduhan itu benar, mengapa Nabi tidak menikah dengan seorang yang masih muda, perawan dan belum mempunya anak?
  • Zainab binti Jahsy r.a
Nama aslinya adalah Birrah bin Jahsy.  Sebelumnya ia adalah seorang istri dari Zaid bin haritsah yang dulunya seorang budak, Setelah mereka bercerai , Allah SWT memerintahkan agar Rasulullah menikahinya sebagaimana  firmannya dalam QS Al-Ahzab 37
Pada masa sebelum islam, masyarakat Arab memandang hina wanita merdeka yang menikah dengan Pria bekas budak, Rasulullah memberi pengertian kepada umatnya bahwa kemulyaan seseorang tidak terletak pada keturunan atau kedudukan sosialnya dan tidak pula terletak pada warna kulit dan jenis kebangsaannya akan tetapi pada ketinggian tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT. Sebagai mana firman Allah
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l. (QS Al hujarat 13)

  • Juwariyah binti Al-Harist r.a
Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H. terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani Mushthaliq. Suami Juwariah tewas dalam peperangan tersebut, Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu, mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi pemenang. Diantara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin Bani Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang Juwairiyah tidak rela dirinya dijadikan budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat dirinya. Karena tidak memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap Rasulullah agar dibantu melunasi tebusan tersebut. Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar mendidik budak dan kalau bisa memerdekakan dan menikahinya , Rasulullah memberikan contoh dengan memerdekakan Juwairiyah dan menawarkan pinangannya, ternyata Juwairiyah mengiyakan. Dengan persetujuan Juwairiyah ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan pernikahan tersebut para sahabat mengembalikan harta rampasan perang, sekaligus memerdekakan ± 100 keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: “Saya tidak pernah melihat keberkahan seseorang atas kaumnya melebihi Juwairiyah.

  • Shafiyyah binti Huyaiy r.a
Shafiyyah binti Huyaiy r.a adalah seorang wanita Yahudi dari bani Nadhir dan keturunan Nabi Harun. Pada tahun ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada saat penyerbuan ke benteng al-Qomush milik bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah bin Rabi’ suami Shofiyah binti Hay terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani Nadlir yang lain menjadi tawanan. Dan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap bani Mushtholiq, maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut keterangan Shofiyah sendiri, yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq bahwa sebelum kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan jatuh di kamarnya. Ketika mimpi tersebut diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan, “Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz Muhammad”, kata suaminya. Walaupun masih muda, usia 17 th, tapi sebelumnya Shofiyah telah menikah dua kali, dengan Salam bin Misykarn kemudian dengan Kinanah bin Rabi’
Melalui pernikahan ini Rasulullah juga bermaksud mengurangi permusuhan dengan kaum Yahudi terhadap Islam dan kaum muslimin, bahkan beliau mengharap kesediaan orang orang Yahudi untuk memeluk agama Islam
Dari dua perkawinan di atas (Shafiyyah binti Huyaiy r.a & Juwariyah binti Al-Harist r.a ), dapat kita lihat bahwa upaya pembebasan perbudakan -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah lainnya. Disisi lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan kedudukan Muslim dalam rangka pembentukan komunitas bersama yang tidak saling bermusuhan. Selanjutnya, bahwa melihat usia Shofiyah yang masih 17 th. dan sudah menikah dua kali, setidaknya menunjukkan bahwa selain masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar juga memiliki adat mengawinkan seorang wanita sejak masih dini.
  • Ummu Habibah binti Abu Sofyan r.a
Pada saat kedudukan kaum Muslimin di Madinah mulai menguat di jazirah Arab, Rasulullah mengirimkan utusan ke Habasyah (Etiopia) memanggil para emigran Muslim yang hijrah ke Habasyah pada masa awal kenabian (periode Makkah). Diantara para emigran tersebut terdapat Ummu Habibah yang menjadi janda karena tidak ingin berkumpul dengan suaminya yang murtad, yaitu Abdullah bin Jahsy. Ummu Habibah yang tidak memiliki tempat kembali, tidak mungkin ke keluarganya di Makkah sebab ia hijrah ke Habasyah karena masuk Islam dan lari dari keluarganya, sedang di Madinah ia tidak tahu harus ke mana. Beruntung bahwa surat Rasulullah yang memanggil mereka melalui Raja Najasyi, disertai pinangan terhadap Ummu Habibah. Pinangan tersebut bahkan diwakili oleh Najasyi sediri dan memberikan mahar sebesar 400 dirham. Adapun yang menikahkan adalah Kholid bin Sa’id bin ‘Ash. Rombongan yang dipimpin Oleh Ja’far bin Abi Thalib ini datang bersamaan dengan kepulangan Rasulullah dari perang Khaibar.
  • Mauminah binti Al-Harist r.a
Para istri nabi -termasuk yang sebelumnya menjadi budak-, mendapat penghormatan yang tinggi dikalangan para sahabat dan umat Muslim, maka tidak mengherankan jika banyak wanita yang ingin dinikahi oleh nabi. Salah satu dari mereka adalah Maimunah yang dalam al-Qur’an disebut “Seorang wanita mu’min yang menyerahkan dirinya kepada nabi”( QS. AI-Ahzab: 50).  Penawaran itu dilakukan oleh Maimunah melalui saudaranya Ummul Fadl, kemudian Ummul Fadl menyerahkan masalah ini kepada suaminya yaitu Abbas bin Abdil Muththolib (paman nabi). Maka `Abbas menikahkan Maimunah kepada Rasulullah dan memberikan mahar kepada Maimunah atas nama Nabi sebesar 400 dirham. Pernikahan ini terjadi pada akhir tahun ke 7 H. tepatnya pada bulan Dzul-Qo’dah.63 Selain Maimunah masih banyak wanita lain yang ingin dinikahi oleh Nabi, tapi beliau menolak.
Jika dilihat dari seluruh pernikahan nabi seperti yang telah kita bahas, maka penolakan nabi tersebut agaknya lebih dilandaskan pada sisi kemanfaatan dan kemaslahatan, baik bagi umat maupun bagi wanita itu sendiri. Hal ini sekaligus menampik tuduhan bahwa perkawinan Rasulullah dilandaskan pada kepentingan pemuasan seksual.

Marikita renungkan bersama
Jika memang Rasulullah berpoligami untuk mencari kesenangan,
  • Mengapa Rasulullah baru berpoligami saat sudah menginjak usia lanjut?  Mengapa tidak saat muda beliau berpoligami?
  • mengapa yang dipoligami semuanya Janda (hanya Aisyah yang bukan) dan rata rata berusia sudah tua? Mengapa tidak yang masih gadis saja?
  • Mengapa Rasulullah banyak menghabiskan malamnya untuk beribadah kepada AllahSWT, saking lamanya  hingga kakinya bengkak?


Menjawab Tuduhan Rasulullah Menyalahi Hukum Alqur'an dalam Menikah Karena Beristri Lebih Dari Empat



Saya sering sekali mendengar tuduhan dari kaum kafir dan orientalis bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh pertama yang menyalahi hukum qur'an dalam hal nikah, dimana qur'an membolehkan bagi seorang lelaki muslim nikah dengan empat orang perempuan, sedangkan Nabi Muhammad adalah pengagum nafsu sex dan pecinta wanita, beliau menyalahi hukum dengan menikahi 12 orang perempuan. Yang lebih aneh lagi, qur'an menyifati beliau dengan sebaik-baik suri tauladan.


Klarifikasi :

"Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisa’ [4]: 3)"

Mengapa Rasulullah Saw. tidak membatasi empat orang isteri saja, padahal Alqur'an membatasi jumlah isteri ketika beliau sedang beristeri 9 orang, dan mengapa tidak ditalak selebihnya?

Jawabannya; di ayat lain, Allah telah mengharamkan isteri-isteri beliau nikah dengan umatnya, karena status mereka adalah ummahat (ibu-ibu kaum muslimin) (QS: Al-Ahzab: 6 dan 53).


"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)"
(QS.Al-Ahzab:6)

"Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.
Jika seandainya ditalak, maka akan dikemanakan mereka. Bukankah hal yang sama, kita tidak tega melakukannya untuk anak perempuan kandung, saudara, dan ibu kita. Sebab lainnya; jika Rasulullah menalak isterinya, maka akan membuat isteri-isterinya bersedih, mendatangkan kebencian keluarga dan kabilah mereka" (QS.Al-Ahzab:53)

Ada orang yang bilang; kalau begitu apa bedanya dengan isteri-isteri kaum muslim yang tertalak, bukankah mereka juga akan bersedih, keluarga dan kabilahnya akan tersinggung.

Jawabannya; Benar, namun Rasulullah beda dengan lelaki/suami muslim lainnya.

Tanya kenapa? Karena kebencian dan kekalutan batin dari pihak isteri, keluarga, dan kabilahnya, hanya dia sendiri yang merasai akibatnya.

Adapun Rasulullah, benci dan kekalutan yang ditujukan kepada beliau, sama halnya ditujukan kepada Allah. lebih-lebih, bila sudah menyangkut dakwah. Bisa-bisa misi Islam tidak berhasil.

Terus, mengapa Rasulullah poligami? Karena, hal itu adalah perintah Allah berdasarkan sebab-sebab tertentu.

Pertanyaan balik; nafsu sex itu meningkat bila seseorang bertambah usianya, atau malah berkurang?

Karena Jika Rasulullah pengagum sex, mengapa beliau tidak melakukan poligami saat usia muda?

Sejarah telah mengabarkan kepada kita, bahwa beliau monogami bersama Siti Khadijah selama dua puluh lima tahun. Saat-saat dimana jiwa muda bergelora. Juga, Siti Khadijah lebih tua dari beliau lima belas tahun. Beliau tidak nikah, kecuali setelah Siti Khadijah wafat. 

Sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 25 tahun. Baru kemudian, empat tahun sepeninggal Khadijah, Rasulullah berpoligami Ketika Rasulullah berusia sekitar 55 tahun. Itu pun dijalani hanya sekitar 8 tahun dari sisa hidup beliau. Namun hal ini seringkali diacuhkan oleh para penghujat islam. Ditambah dengan aktifitas dakwah yang padat, salat tahajud sampai kaki beliau bengkak, ikut bertempur memerangi orang-orang kafir, menerima tamu-tamu yang berkunjung, mengadakan perjanjian-perjanjian damai demi keamanan dengan Yahudi, orang-orang munafik, dan kabilah-kabilah tetangga, dll. 

Yang jika ditela'ah, satu orang anak manusiapun tidak mampu melakukan berbagai aktifitas yang padat tadi. Mungkinkah, Rasulullah masih punya waktu banyak dan tenaga yang cukup untuk bersenang-senang dengan isteri-isterinya?

Belum lagi kehidupan beliau yang penuh dengan kezuhudan dan kesederhanaan. Sampai-sampai, saat beliau sangat lapar, dua butir batu beliau gunakan untuk menonggak perutnya, agar rasa lapar tidak terasa. Makan hanya dengan tiga butir kurma dan dapurnya hampir tidak pernah berasap. Juga, keseringan puasanya. Padahal umatnya dilarang puasa wisal (bersambung) sedangkan beliau sendiri puasa wisal sampai tiga hari berturut-turut.

Pertanyaannya : masihkan tersisakah nafsu sahwat Beliau ?

Kalau Rasulullah pengagum sex, mengapa beliau memilih isteri-isteri yang sudah lanjut usia, lemah, hanya Aisyah yang beliau nikahi ketika masih gadis?

Mengapa pula Rasulullah memilih janda-janda? Sejarah membuktikan, bahwa semua isteri Rasulullah adalah wanita-wanita lanjut usia, lemah, dan janda. Kecuali Siti Aisyah. Bahkan sebagian mereka telah sangat lanjut usia. Seperti Siti Khadijah, Siti Saudah, dan Siti Zainab binti Khuzaimah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengagum sex paling suka bila isterinya bersolek dan berpakaian yang paling indah. Apa yang kita saksikan dengan isteri-isteri Rasulullah. Mereka ketika meminta beliau agar nafkah ditambah, langsung Allah memerintahkan mereka untuk memilih salah satu dari dua hal; ditalak atau hidup bersama Rasulullah dengan kezuhudan dan kesederhanaan. (Q.S: al-Ahzab: 28-29).

Saat itu pilihan mereka adalah Allah, Rasulullah, dan kenikmatan surga. Lalu Allah dan Rasulullah-pun meridhai mereka.

Kedudukan orang nabi di tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, bahkan dari derajat para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad SAW sendiri saja yang boleh meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derakat beliau SAW lebih tinggi dari malaikat Jibril `alaihissalam.

Demikian juga dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala, para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa . Artinya, seandainya mau, para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pasti Allah tidak akan menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi itu dijadikan qudwah hidup, maka mereka pun beriltizam pada syariat yang mereka sampaikan.

Pengecualian Syariat Buat Pribadi Rasulullah SAW

Dalam implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah yang berbeda antara Rasulullah SAW dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah. Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi. Misalnya, bila umat Islam tidak diwajibkan melakukan shalat malam, maka Rasulllah SAW justru diwajibkan untuk melakukannya.


إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ
اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS.Al-Muzammil:19) 

Bila umat Islam diharamkan berpuasa dengan cara wishal , maka Rasulullah SAW justru diperbolehkan bahkan diperintahkan.
عن ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما - قال: { واصل رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان, فواصل الناس.. فنهاهم, قيل له: إنك تواصل, قال: إني لست مثلكم, إني أطعم وأسقى


Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya. Namun beliau SAW melarangnya. Orang-orang bertanya, Mengapa Anda melakukannya? Beliau menjawab, aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi minum.

Bila isteri-isteri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi, khusus buat para isteri Rasulllah SAW telah ditetapkan kewajiban bertabir. Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para isteri nabi SAW. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang buta masuk ke rumah nabi SAW, sedang saat itu beliau sedang bersama dua isterinya. Rasulullah SAW lalu memerintahkan mereka berhijab , meski Abdullah bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kedua isterinya bukan orang yang buta.
Karena itulah Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمًا
"........ Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah." (QS.Al-Ahzab:53)

Bila wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah SAW justru haram dinikahi selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda Rasulullah SAW sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri.

Dan masih ada beberapa lagi kekhususan Rasulullah SAW. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak menceraikan isteri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan isteri bila melebihi 4 orang.

Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak isteri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki isteri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Lalu datanglah syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang saja. Kalau terlanjur sudah punya isteri lebih dari empat, harus diceraikan suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para isteri, justru kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan.
Karena itulah khusus bagi Rasulullah SAW, Allah SWT tidak memerintahkannya untuk menceraikan para isterinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi SAW kepada mereka, bukan sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintelis dan kafir yang hatinya hitam itu. Mereka selama ini menuduh Rasulullah SAW sebagai orang yang haus perempuan, naudzu bilahi min zalik.

Catatan tambahan :

Berikut adalah nama-nama istri Rasulullah dan alasan-alasan beliau memperistrinya :

1. Khadijah binti Khuwailid RA,

Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. Dari pernikahnnya dengan Khadijah Rasulullah SAW memiliki sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi semua anak laki-laki beliau meninggal. Sedangkan yang anak-anak perempuan beliau adalah: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup.

2. Saudah binti Zam’ah RA

Dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr. Beliau SAW nikah dengan Siti Saudah binti Zam'ah yang janda ditinggal mati suami. Sedangkan kerabatnya adalah orang-orang musyrik. Usia Siti Saudah kala itu enam puluh enam tahun. Lebih tua dengan beliau lima belas tahun. Demi tidak membiarkan Siti saudah dalam kesendirian, sebatang kara. Karena kalau dia kembali ke kerabatnya yang musyrik, maka Islamnya akan terancam. Sebelumnya Siti Aisyah bermimpi, bahwa Siti Saudah menjadi isteri Rasulullah. (Sahihul Jami': 915).

3. Aisyah binti Abu Bakar RA

Dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah atau dua tahun dan lima bulan sebelum Hijrah. Tentang berapa usia aisyah ketika menikah,

Ia adalah seorang gadis dan Rasulullah SAW tidak pernah menikahi seorang gadis selain Aisyah.

Dengan menikahi Aisyah, maka hubungan beliau dengan Abu Bakar menjadi sangat kuat dan mereka memiliki ikatan emosional yang khusus. Posisi Abu Bakar sendiri sangat pending dalam dakwah Rasulullah SAW baik selama beliau masih hidup dan setelah wafat. Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah yang pertama yang di bawahnya semua bentuk perpecahan menjadi sirna.

Selain itu Aisyah ra adalah sosok wanita yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat tinggi dimana begitu banyak ajaran Islam terutama masalah rumah tangga dan urusan wanita yang sumbernya berasal dari sosok ibunda muslimin ini.

4. Hafsah binti Umar bin Al-Khatab RA,

beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khatab.

Dengan menikahi hafshah putri Umar, maka hubungan emosional antara Rasulullah SAW dengan Umar menjadi sedemikian akrab, kuat dan tak tergoyahkan. Tidak heran karena Umar memiliki pernanan sangant penting dalam dakwah baik ketika fajar Islam baru mulai merekah maupun saat perluasan Islam ke tiga peradaban besar dunia. Di tangan Umar, Islam berhasil membuktikan hampir semua kabar gembira di masa Rasulullah SAW bahwa Islam akan mengalahkan semua agama di dunia.

Catatan : Rasulullah menikah dengan Siti Aisyah dan Siti Hafsah sebagai penghargaan kepada keduanya, juga kepada kedua orang tua keduanya. Sebab kedua bapak mereka adalah menteri beliau (Abu Bakar As-shiddieq dan Umar bin Khaththab). Hal ini demi tidak menghalangi keduanya untuk menziarahi Rasulullah kapan saja.

5. Zainab binti Khuzaimah RA,

Dari Bani Hilal bin Amir bin Shofiyah. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Ia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah SAW . Siti Zainab binti Khuzaimah paling tua dibanding Rasulullah. Suaminya gugur pada perang Uhud. Tiada seorangpun yang mencoba menikahinya. Rasulullah kemudian menikahinya. Zainab binti Khuzaimah terkenal kala itu, dengan panggilan Umu Masakin (ibu para fakir miskin). Karena dia sering berinfak.

6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA,

Sebelumnya menikah dengan Abu salamah, akan tetapi suaminya tersebut meninggal di bulan Jumada Akhir tahun 4 Hijriyah dengan menngalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama.

Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.  Ummu Salamah adalah salah peserta hijrah ke Habasyah dan Madinah. Suaminya yang baik hati, Abu Salamah meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai anak-anak yang butuh asuhan. Maka Rasulullah menikahinya demi memuliakan dia, karena dia penyabar, juga karena dia termasuk golongan orang-orang yang menganut Islam dimasa awal-awal. Dan yang jelas, demi memuliakan mantan suaminya yang begitu baik. Dengan cara mengasuh anak-anaknya. Rasulullah SAW sebenarnya telah berdoa kepada Allah agar Umi Salamah mendapatkan suami yang terbaik. Di malam pertama, Rasulullah menanyai anak-anaknya. Karena beliau tidak melihat mereka nampak bersama ibunya. Umi Salamah menjawab; mereka di rumah paman mereka. Rasulullah tidak menerima hal itu, lalu memerintahkan kepadanya agar mereka balik. Setelah itu Rasulullah bersabda; "barang siapa yang memisahkan antara orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkannya dengan orang yang dia cintai di hari kiamat". (Sunan Turmudzi dan Sahihul Jami': 6412).
Rasulullah sangat menyayangi anak-anak Umu Salamah. Menimang mereka, bermain bersama, makan bersama.

7. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA,

Dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo’dah tahun kelima dari Hijrah.

Pernikahan tersebut adalah atas perintah Allah SWT untuk menghapus kebiasaan Jahiliyah dalam hal pengangkatan anak dan juga menghapus segala konskuensi pengangkatan anak tersebut. Untuk lebih jelasnya silahkan buka link ini
http://www.facebook.com/note.php?note_id=118320911567548
 beliau tidak menikahi menantunya.

8. Juwairiyah binti Al-Harits RA,

pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza’ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya’ban tahun ke 6 Hijrah.

Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.

9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA,

sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin Hasanah.

Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah. Adapun Ummu Habibah (Ramlah binti Abi Sufyan) mendapatkan terror dari bapak dan saudaranya. Lalu dia hijrah bersama suaminya ke Habsyah. Tiba di sana, suaminya masuk agama Kristen. Jadilah dia dalam kesendirian. Rasulullah kemudian mengirim utusan kepada Raja Habsyah, Najasyi, agar meminangnya untuk Rasulullah, demi memuliakan Ummu Habibah. Jika dia kembali kepada kerabatnya, maka dipastikan, dia akan sengsara lagi.

10. Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab RA,

dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khaibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khaibar tahun 7 Hijriyyah.

Siti Shafiyah binti Huyayyi tertawan pada perang Khaibar. Dalam perang itu suami, bapak, saudara, dan pamannya terbunuh. Rasulullah membebaskannya, demi kasih sayang, hormat, dan agar ada yang  menaunginya. Siti Shafiyah sebelumnya bermimpi, bulan purnama jatuh di pangkuannya. Tatkala dia menceritakan mimpinya kepada keluarganya. Pamannya langsung menamparnya dan berkata; kau mau menikah dengan Nabinya bangsa Arab itu.
Pernikahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.

11. Maimunah binti Al- Harits RA ,

saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa?dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.

Dari kesemua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, tak satupun dari mereka yang melahirkan anak hasil perkawinan mereka dengan Rasulullah SAW, kecuali Khadijatul Kubra seperti yang disebutkan di atas. Namun Rasulullah SAW pernah memiliki anak laki-laki selain dari Khadijah yaitu dari seorang budak wanita yang bernama Mariah Al-Qibthiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis pembesar Mesir. Anak itu bernama Ibrahim namun meninggal saat masih kecil.

Demikianlah sekelumit data singkat para istri Rasulullah SAW yang mulia, dimana secara khusus Rasulullah SAW diizinkan mengawini mereka dan julah mereka lebih dari 4 orang, batas maksimal poligami dalam Islam.

Dari kesemuanya itu, umumnya Rasulullah SAW menikahi mereka karena pertimbangan kemanusiaan dan kelancaran urusan dakwah.

12. Maria Al-Qibthiyah

Maria Al-Qibthiyah adalah budak hadiah dari Pengusa Mesir, Raja Muqauqis yang beragama kristen. Tidak benar kalau Rasulullah SAW berzina dengan budak tersebut. Dan tidak juga benar Maria adalah budak istri Rasulullah Hafsah, Putri Umar Al Khattab. Maria adalah budak Rasulullah SAW sendiri sekaligus istri beliau dari golongan hamba sahaya dalam bahasa kita adalah selir, bukan budak Hafsah istri Rasulullah Putri Umar Al Khattab Al Faruq.  Sementara Maria sendiri adalah istri beliau (Rasulullah SAW) yang dari buah perkawinannya lahirlah Ibrahim yang meninggal pada umur 2 tahun.
Dengan lahirnya Ibrahim maka status Maria bukanlah selir lagi melainkan sama kedudukannya dengan istri-istri nabi yang lain.

 
SECARA GARIS BESAR, ALASAN RASULULLAH BERPOLIGAMI ADALAH

1. Demi menanamkan benih kasih sayang dengan kerabat dan kabilah isteri-isterinya.

2. Agar mereka masuk Islam.

3. Agar kepribadian Rasulullah dirumah diketahui oleh banyak orang. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa banyak orang yang nampak di luar rumah sebagai seorang yang alim dan bertaqwa, tetapi ketika di dalam rumahnya, sifat-sifat tadi tidak bisa dipertahankan. Maka, demi mengekspos seluruh kepribadian Rasulullah di dalam rumah, dibutuhkan lebih dari seorang isteri. Karena satu saja tidak cukup. Dan kalau hanya seorang isteri, maka akan kemungkinan besar, si isteri akan dituduh menutup-nutupi kejelekan suami, karena saking cintanya kepada suami, saking sibuknya isteri mengurusi rumah tangga, atau karena lupa. Jika informasi tentang kepribadian Rasulullah bersumber dari banyak isteri, maka dipastikan informasi itu sangat benar dan sangat akurat. Secara naluri, isteri satu-satunya pasti cinta kepada suaminya. Dan cenderung untuk menutupi kejelekan suaminya. Adapun jika isteri banyak, maka cenderung mereka akan benci dan menyebarkan aib-aibnya, walaupun suami mereka sudah meninggal dunia. Belum lagi, jika ternyata yang membunuh pemimpin dan pembesar kaum, serta keluarganya adalah suami mereka. Seperti terbunuhnya keluarga Siti Shafiyah dan Siti Juwairiyah (sebelum keduanya masuk Islam). Lain halnya dengan Rasulullah. Isteri-isterinya ketika selama bergaul dengan beliau, bernaung dalam bimbingan beliau, kepribadian luhur beliau tetap konsisten saat sunyi maupun ramai. Hal ini yang menjadikan, isteri-isterinya bisa dipercaya oleh kaum muslimin atas informasi tentang tingkah laku beliau di rumah.

Sedikit saja ada sikap Rasulullah yang menyimpang dari kepatutan, pasti akan tersebar luas.

4. Rumah-rumah isterinya menjadi pusat penyebaran risalah Islam. Lebih lagi, bila ajaran yang menyangkut masalah khusus perempuan.

5. Istri-istri Rasulullah adalah duta-duta Islam kepada kaum dan kabilah dimana mereka lahir dan besar. Dengan adanya pendidikan dan taujih yang berasal dari guru mereka sekaligus suami mereka, menjadikan mereka lebih mengenal karakter Islam yang kaffah yang bersumber dari Rasulullah SAW langsung dan wahyu yang diberikan kepada Beliau. Dengan adanya istri-istri Rasulullah sebagai duta-duta Islam menjadikan penyebaran dan tarbiyah Islam kepada umat menjadi lebih efisien dan cepat serta terarah.

Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah sesungguhnya sarat dengan catatan-catatan penting. Beliau tidak melakukannya secara bebas dan tanpa pertimbangan. Sangat berbeda dengan praktek poligami oleh kebanyakan orang. Umumnya orang berfikir, yang penting tidak lebih dari empat orang isteri, maka bisa saja ganti-ganti isteri. Talak sana sini. Akad sini sana. Adalah Rasulullah, beliau dilarang nikah lagi, selain yang telah ada disisinya. Walaupun salah satu atau semuanya meninggal dunia. (Baca Q.S: al-Ahzab: 52)

Adapun hukum menikah dalam islam yaitu monogami dan poligami. "Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’ [4]: 3)"
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya." (QS.An-Nisaa’:3)

Jadi pernikahan dalam islam itu ada 2
1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami

Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa' ayat 129 yang artinya:

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."

Dan jika memang mampu berlaku adil dan terdapat alasan yg kuat untuk poligami maka hal itu adalah solusi bagi keadaan tertentu, misal:

1. Isteri mandul
2. Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong
5.  Melindungi seorang perempuan dari fitnah atau gangguan orang lain

Faktanya di lapangan, pernikahan monogami jauh lebih banyak daripada poligami, tapi kenapa justru poligami yg jadi sorotan???

Naif sekali jika Kristen penghujat islam menentangnya karena dalam alkitab mereka, tidak ada satu ayatpun yang mengecam apalagi melarang poligami.

Kitab Ulangan 21:15-16 dan Keluaran 21:10 menjelaskan, beberapa aturan hukum beristri lebih dari satu. Ini adalah bukti bahwa alkitab (Bibel) pun tidak melarang poligami. Alkitab, memberikan aturan tentang poligami, sesuai zaman yang berlaku pada masa itu.

Dalam Alkitab, pelaku poligami pertama kali adalah Lamekh (Kejadian 4:19). Dalam Ulangan 25:5 disebutkan, jika suami meninggal, maka sang istri itu harus dinikahi oleh saudara lelaki sang suami. Perkawinan antara janda dengan ipar ini disebut "Kewajiban Perkawinan Ipar".

Jika saudara Ipar sudah beristri, ia harus memoligami janda iparnya. Jika saudara ipar itu menolak menikahinya dengan alasan tidak suka, ia dihukum oleh tokoh Nasrani dengan cara diludahi mukanya (Ulangan 25:9).

Dalam Bibel pun terdapat puisi tentang poligami : Permaisuri ada enam puluh, selir delapan puluh, dan dara-dara tak terbilang banyaknya. Tetapi dialah satu-satunya merpatiku, idam-idamanku, satu-satunya anak ibunya, anak kesayangan bagi yang melahirkannya, putri-putri melihatnya dan menyebutnya bahagia, permaisuri-permaisuri dan selir-selir memujinya (Kidung Agung 6:8-9).

Legalnya poligami ini, didukung fakta di dalam Bibel, bahwa para Nabi Bani Israil juga berpoligami. Nabi Ibrahin punya dua istri, yaitu Sara (Kejadian 11:29-31) dan Hagar (Kejadian 11:29-31). Selain itu, Ibrahim disebut juga punya gundik bernama Kentura (Kejadian 25:1).

Nabi Yakub punya empat istri, yaitu Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa (Kejadian 29:31-32, 30:34, 30:39). Jejak Nabi Yakub ditiru oleh anaknya, Esau, dengan menikahi dua perempuan Kanaanm yaitu Ada dan Oholibama (Kejadian 36:2-10).

Nabi Musa berpoligami dengan mengawini dua istri. Salah satunya bernama Zipora (Keluaran 18:2, Bilangan 12:1). Salomo alias Nabi Sulaiman punya 700 istri dan 300 gundik (I Raja-raja:1-3). Anak kandung Salomo, Rehabeam, juga berpoligami. Ia punya 18 istri dan 60 gundik yang memberinya 28 anak laki-laki dan 60 perempuan (2 Tawarikh 11:21).

Nabi Daud memiliki banyak istri dan gundik, diantaranya Ahinoam, Abigail, Maacha, Hadjit, Edjla, Michal dan Batsyeba ,(I Samuel 25:43-44,27:3,30:5, II Samuel 3:1-5, 5:13, I Tawarikh 3:1-9, 14:3, II Samuel 16:22). Simson kawin beberapa kali (Hakim-hakim 14:10, 16:1-4), dan masih banyak lagi daftar pelaku poligami dalam Alkitab.

Jauh sebelum Rasul lahir, Nabi Daud, Abraham, Yakub dan Salomo telah mempraktikan poligami. Tapi tak satupun ayat Bibel yang mengecam atau menilainya sebagai tindakan yang salah, bermaksiat dan dosa.

Nabi Daud, mengoleksi banyak  istri dan gundik, tapi Tuhan tidak mengecamnya sebagai kelemahan. Bahkan, Tuhan memberikan penghargaan dengan julukan "Nabi yang taat kepada Tuhan dan berkenan di hati-Nya" (Kisah Para Rasul 13:22).

Nabi Yakub menikahi banyak wanita yang memiliki hubungan darah. Toh, Yakub tidak dibenci Tuhan. Semasa hidunya, Allah justru menampakkan diri keada Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa (Keluaran 6:2). Bahkan, Tuhan menjanjikan akan memberikan sebuah negeri pada keturunan Yajub (KEluaran 33:1). "Yakub adalah nabi yang diberkati Tuhan, berada dalam kerajaan Sorga (Kerajaan Allah) bersama dengan Abraham, Ishak dan semua nabi Allah," (Matius 8:11), Lukas 13:28).

Labi Lot (Luth), dalam Bibel juga disebut memoligami dua kakak beradik hingga beranak-pinak. Tapi, Tuhan tidak menegurnya sebagai orang yang berdosa karena berpoligami. Bahkan, Tuhan membeirkan pujian kepada Lot sebagai orang yang benar dan taat jepada Tuhan (II Petrus 2:7).

Bahkan, Nabi Salomo (Sulaiman) dalam Bibel diceritakan sebagai nabi superpoligami dengan koleksi istri terbanyak di dunia. Tuhan juga tidak mencelanya, sebagai tindakan maksiat. Tuhan justru menyayngi Salomo sebagai orang yang sudah dipilih Tuhan sejak bayi menjadi hamba-Nya yang akan mendirikan Bait Allah (I Tawarikh 22:9-10).

Pada masa Yesus, jika praktik poligami ini tercela dan hrus dihapus, pasti yesus menyikapinya dengan tegas. Ternyata, Yesus tidak pernah menghapus aturan tentang poligami yang diterapkan para Nabi terdahulu. "Janganlah kamu menyangka, bahw aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya," (Matius 5:17).

Dalam buku Sex in The Bible, halaman 5 disebutkan, Yesus sendiri -meski Bibel tak menceritakan- apakah dia pernah menikah dan berpoligami? Tapi, Ia tak pernah komplain ketika murid terkasihnya, Petrus, menikah berulangkali. Yesus tak mengecam apalagi menyuruh Petrus menceraikan istri-istrinya. Ini menunjukkan, Yesus tidak mengharamkan poligami.

Sikap Yesus ini bisa dimaklumi, karen
a leluhur Yesus sendiri adalah pelaku poligami A

 



MENUJU MAQAM JALAN YANG LURUS

Al-Imâm Al-Qurthubî berkata tentang ayat ini :
 
“Ini merupakan do’a — permintaan — dan harapan dari — orang — yang dikuasai kepada Rabb – yaitu : Penguasa, Pemilik, Pengatur seluruh ‘alam –”.
(Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 148)
Selanjutnya Al-Imâm Al-Qurthubî menuqilkan komentar sebagian ‘ulamâ’ tentang kandungan ayat ini, yaitu :

“Dan Allâh telah menjadikan do’a yang terdapat dalam surah ini sebagai do’a yang lebih utama dari seluruh do’a yang diucapkan oleh seorang yang berdo’a — kepada-Nya –, karena ucapan — do’a — ini merupakan ucapan Rabbul-’Âlamîn, dan — berarti — engkau berdo’a dengan do’a yang — berasal — dari ucapan-Nya”. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 148)
Penjelasan
Kata “Ihdinâ” arti lengkapnya ialah : “Berikanlah hidayah kepada kami”. Adapun arti “Hidayah” dari segi bahasa ialah :

Petunjuk (pengetahuan) untuk — melakukan — berbagai kebaikan, dalam bentuk ucapan maupun perbuatan”.
(Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 231)

Dr. ‘Abdullâh Nâsih ‘Ulwân membagi “Hidayah” menjadi dua bagian, yaitu “Al-Irsyâd dan Al-I’ânah”, adapun yang dimaksud “Al-Irsyâd” ialah pengetahuan atau ilmu yang membedakan antara yang benar (Al-Haq) dan yang salah (Al-Bâthil). “Hidayah” dalam bentuk ini bisa saja dimiliki oleh kâfir, sebagaimana firman Allâh :

“Orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitâb (Taurat dan Injîl) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran (Al-Haq) padahal mereka mengetahui”.
(Surah Al-Baqarah (2) : 146)
Demikian pula firman Allâh tentang kaum Tsamûd :

“Adapun kaum Tsamûd maka mereka telah Kami beri petunjuk (hidayah), tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu”. (Surah Al-Fushshilat (41) : 17)
Berdasarkan dua ayat di atas jelaslah bahwa “Hidayah” dalam bentuk pengetahuan atau ilmu yang benar (Al-Haq) dapat dimiliki oleh orang-orang yang kâfir, namun hati mereka menolaknya.
Sedang “Hidayah” yang kedua, yaitu “Al-I’ânah” artinya “Pertolongan”; yaitu pertolongan Allâh kepada orang-orang yang berimân untuk menerima hidayah itu dengan hati mereka dan melaksanakan atau meng’amalkannya, sebagaimana firman Allâh SWT. :

“Sesungguhnya orang-orang yang berimân dan melaksanakan ‘amal shalih, Rabb mereka akan memberi petunjuk (hidayah) kepada mereka disebabkan keimânan mereka”. (Surah Yûnus (10) : 9)
Dan firman Allâh SWT. :

“Siapa-saja yang berimân kepada Allâh, maka Dia (Allâh) akan memberi petunjuk (hidayah) kepada hatinya”.
(Surah At-Taghâbun (64):11)

Hidayah dalam bentuk “Al-I’ânah” ini mutlak pemberian Allâh, tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya kepada orang lain, bahkan Rasûlullâh saw. tidak mampu memberikannya, sebagaimana firman Allâh SWT. :

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allâh lah yang memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia (Allâh) lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah”.
(Surah Al-Qashahsh (28) : 56)

Hidayah dalam bentuk “Al-I’ânah” ini membutuhkan upaya yang keras dan kesungguhan dari orang yang bersangkutan, sebagaimana komentar sebagian ‘ulamâ’ yang disebutkan oleh Al-Qâsimî dalam Tafsîrnya :

“Tidak mudah memperoleh hidayah ini — bagi seseorang — sebelum ia mencapai kematangan dengan cara-cara yang khusus, yaitu dengan mendahulukan (memprioritaskan) berbagai ‘ibadah (keta’atan)”.
(Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 231)

Dalam hal ini Allâh SWT. berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan (beri hidayah) kepada mereka jalan-jalan Kami”.
(Surah Al-Ankabût (29) : 69)

“Shirâthal-Mustaqîm”
Al-Imâm Al-Qurthubî menyatakan bahwa asal kata Shirâth dalam bahasa ‘Arab artinya “Ath-Thâriqu”; yaitu “Jalan”. Jadi Shirâthal-Mustaqîm artinya :

“Jalan yang terang, yang tidak ada penyimpangan dan pembelokan di dalamnya”.
(Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 235)

Para ‘ulamâ’ mufassirîn berbeda pendapat tentang maksud dengan “Shirâthal-Mustaqîm”, sebagian dari mereka mengatakan bahwa itu ialah “Kitâbullâh (Al-Qur-ân)”. Sebagian yang lain mengatakan bahwa itu adalah “Dînul-Islâm”. Dan sebagian ada yang berpendapat bahwa itu adalah Nabi saw. dan para shahabatnya.
(Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 27-28)
Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah (rahimahullâh) telah memberikan komentar yang baik sekali dalam masalah ini, beliau berkata : Ada dua hal yang selayaknya diketahui tentang perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ‘ulamâ’ mufassirîn dan para ‘ulamâ’ lainnya dalam masalah ini : Pertama : Tidak ada pertentangan dan hal yang bertolak belakang di dalam perbedaan pendapat tersebut. Bahkan sangat mungkin untuk ditetapkan bahwa kedua-duanya benar. Adapun yang kedua : Sesungguhnya perbedaan itu hanya dalam penyebutan jenis, sifat dan pernyataan. Dan perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sudah umum dan biasa terjadi di kalangan mufassirîn salaf dari kalangan shahabat dan tabi’în. Karena apabila Allâh SWT. menyebutkan suatu nama (isim) dalam Al-Qur-ân, seperti (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ) misalnya, maka setiap mufassirîn memberikan tafsîran yang menunjukkan kepada sebagian shifatnya saja, dan pada dasarnya hal itu bisa dibenarkan, yaitu sama-dengan nama-nama lain yang disebutkan Allâh atau Rasul-Nya dalam Kitab-Nya, di mana penyebutan nama tersebut menunjuk pada salah satu shifat-shifatnya. Oleh karena itu, ada sebagian mereka (‘ulamâ’ mufassirîn) yang menyebutkan Shirâthal-Mustaqîm itu adalah : “Kitâbullâh” atau “Mengikuti Kitâbullâh”. Sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah “Al-Islâm” atau “Dînul-Islâm”. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah “As-Sunnah dan Jama’ah”, dan yang lain mengatakan “Jalan (thariqat) Keta’atan” atau “Jalan untuk mencapai rasa takut (khauf), ridha dan cinta kepada Allâh”; atau ada yang mengatakan bahwa itu adalah “Menta’ati perintah dan menjauhi larangan” atau “Mengikuti Kitâbullâh dan Sunnah” atau “Melaksanakan keta’atan kepada Allâh” dan sebutan-sebutan yang lain yang semacam itu. Namun, dari kesemua pengertian tersebut yang dimaksud hanya satu, — yaitu : “Shirâthal-Mustaqîm” — walau pun ia memiliki shifat dan nama serta tafsîran yang bermacam-macam. Dan hal itu banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsîr khususnya yang membahas masalah ini.
(Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 233)

Jalan Lurus

HIKMAH -- Dalam sehari semalam, minimal 17 kali kita memohon kepada Allah. Dalam shalat, kita senantiasa dengan berdoa. "Ihdinash Shiratal Mustaqim" yang artinya, "Ya Allah, Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Permohonan berupa petunjuk ke jalan yang lurus mencakup tiga permohonan. Pertama, memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Masih banyak di antara petunjuk Allah yang belum kita ketahui. Kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.

Kita sering berdoa kepada Allah, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang selalu basah berzikir, dan amal yang diterima.”

Kita juga meminta perlindungan kepada Allah dengan doa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabul."

Sudahkah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu Islam? Sudahkah kita serius mempelajari dan memahami Alquran dan Hadis Nabi SAW, seperti pemahaman para sahabat Rasulullah?

"Ihdinash Shiratal Mustaqim." Kita ucapkan benar-benar dari hati. Bukan sekadar basa-basi atau main-main. Doa tersebut perlu pembuktian.

Kedua, kita memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan. Di antara doa yang sering kita panjatkan, "Ya Allah, bantulah aku untuk dapat mengingat-Mu, untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, dan untuk dapat beribadah kepada-Mu dengan baik."

Tidaklah menjadi jaminan seseorang yang telah mengetahui kebenaran itu mengamalkannya. Ada faktor-faktor yang menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran meskipun ia tahu dan berilmu.

Hasud, sombong, cinta harta, cinta kedudukan, cinta kepada lawan jenis, ambisi kekuasaan, fanatisme kepada suku, kelompok, kampung halaman, nenek moyang dan adat istiadat, itu semua dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran. Hal itu juga dapat menjerumuskan seseorang pada jalan yang dimurkai Allah (sesat).

Diperlukan kejujuran, kesabaran, dan kebesaran jiwa serta keberanian untuk merenung, mengevaluasi, dan segera memperbaiki diri. Setan akan selalu berusaha untuk menghiasi agar kita memandang indah kebatilan dan untuk mencari-cari dalil sebagai pembenaran.

Akan tetapi, nurani kita tidak bisa dibohongi. Mintalah kepada Allah agar memberi kekuatan kepada kita dalam mengekang hawa nafsu dan melawan godaan setan yang terkutuk.

Ketiga, kita memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati agar tetap istiqamah sampai akhir hayat. Hati manusia mudah berbolak-balik. Pagi hari beriman, sore bisa menjadi kafir. Hari ini bersih dan ikhlas, besok bisa ternoda dan berubah niat.

Di antara doa yang kita mintakan kepada Allah, "Ya Rabb, janganlah Engkau palingkan hati kami pada kesesatan setelah Engkau beri hidayah kepada Kami, berilah untuk kami rahmat (kasih sayang) dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Mahapemberi.” (QS Ali Imran [3]: 8).

Rasulullah SAW sering berdoa, "Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar selalu (istiqamah) berada di atas rel din (agama) Mu." Ketiga poin ini tercakup dalam Ihdinash Shiratal Mustaqim. Semoga Allah mengabulkan doa kita. Amin.

Penutup
Sebagai penutup dari pembahasan ayat ini kami nuqilkan kembali komentar Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh); beliau berkata tentang ayat ke 5 dari Surah Al-Fâtihah ini: “Setiap manusia secara terus menerus butuh kepada apa yang dituju oleh do’a (permohonan) yang terdapat dalam ayat ini; yaitu hidayah (petunjuk) kepada “Shirâthal-Mustaqîm”, karena tidak mungkin meraih keselamatan dari ‘adzab kecuali dengan hidayah ini, demikian pula tidak mungkin tercapai kebahagiaan kecuali dengannya. Dan barang-siapa yang luput — tidak memperoleh — hidayah ini, maka ia akan menjadi orang yang dimurkai (Maghdhûb) atau orang yang sesat (Dhâllîn). Dan hidayah ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan petunjuk Allâh, sebagaimana firman-Nya :

“Barang-siapa yang diberi hidayah oleh Allâh, maka dialah yang mendapat hidayah, dan barang-siapa yang disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi hidayah kepadanya”.
(Surah Al-Kahfi (18) : 17)
Sesungguhnya yang dimaksud “Shirâthal-Mustaqîm” itu ialah : Jika setiap saat engkau dapat melakukan apa saja yang diperintahkan Allâh kepadamu, berupa ilmu dan ‘amal, dan juga meninggalkan apa saja yang Dia larang. Untuk itu engkau membutuhkan pengetahuan (ilmu) tentang apa saja yang Dia perintah pada waktu-waktu tertentu dan apa saja yang Dia larang. Dan engkau juga membutuhkan agar Dia memberikanmu kemauan yang kuat untuk melaksanakan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang. Dan — sebagaimana dijelaskan sebelumnya — bahwa “Shirâthal-Mustaqîm” ini ditafsîrkan atau dianalogkan dengan Al-Qur-ân atau Al-Islâm atau jalan untuk mencapai keta’atan kepada Allâh dan lain-lain yang semua itu benar, karena semua itu merupakan shifat-shifatnya. Kebutuhan — manusia — terhadap hidayah ini merupakan keharusan, karena kebahagiaan dan keselamatannya bergantung kepada hidayah ini. Berbeda halnya dengan kebutuhannya terhadap rezeki dan pertolongan Allâh. Memang, Allâh adalah yang memberi rezeki kepadanya dan jika Allâh memutus rezekinya, paling-paling ia akan mati — dan kematian merupakan sebuah kepastian baginya –; namun jika ia termasuk orang mendapat hidayah, ia akan menjadi orang yang berbahagia setelah mati, dengan kata-lain kematian tersebut menjadi jalan baginya untuk memperoleh kebahagiaan yang kekal abadi, karena ia berhak mendapat rahmat Allâh. Demikian pula dengan pertolongan Allâh, apabila ia ditaqdirkan untuk terdesak dan kalah lalu terbunuh — dalam perang — , namun jika ia termasuk orang yang mendapat hidayah dan bersikap istiqâmah, maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid, dan terbunuhnya ia — di medan perang — pun merupakan kesempurnaan nikmat Allâh atasnya. Maka jelaslah, bahwa kebutuhan seseorang terhadap hidayah ini jauh lebih besar daripada kebutuhannya terhadap rezeki dan pertolongan. Bahkan tidak ada perbandingan di antara keduanya. Karena itulah do’a — memohon hidayah — ini diwajibkan atas mereka dalam seluruh shalat, baik yang wajib atau pun yang sunat. Dan juga perlu diketahui, bahwa do’a ini bisa mencakup rezeki dan pertolongan, karena ketika ia diberi hidayah kepada “Shirâthal-Mustaqîm” berarti ia termasuk golongan orang-orang yang bertaqwâ, padahal Allâh berfirman :

“Barang-siapa yang bertaqwâ kepada Allâh, maka Dia akan memberikan jalan keluar kepadanya dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka”.
(Surah Ath-Thalâq (65) : 2 & 3)
Dan — dengan hidayah tersebut — ia juga termasuk golongan orang-orang yang bertawakal kepada Allâh, padahal Allâh berfirman :

Dan barang-siapa yang betawakal kepada Allâh, maka Allâh akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allâh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya”.
(Surah Ath-Thalâq (65) : 3)
Dan — dengan hidayah tersebut — ia juga termasuk golongan orang-orang yang menolong Allâh dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang menolong Allâh maka Allâh pasti akan menolongnya, dan ia termasuk tentara Allâh, dan tentara Allâh pasti akan memperoleh kemenangan. Maka — “Shirâthal-Mustaqîm” — ini merupakan hidayah yang sempurna, yang dapat meraih hasil yang jauh lebih besar dari rezeki dan pertolongan. Maka jelaslah bahwa do’a ini mencakup seluruh kebutuhan serta meraih seluruh hal yang bermanfaat dan menolak semua hal yang mengandung mudharat. (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 233)

Demikian semoga bermanfaat.

Penulis : 
DE AL-HALLAJ

Sumber http://www.muslim-menjawab.com